Sunday, August 7, 2011

MEMBANGUN HARAPAN DALAM HIDUP

" Apabila telah datang pertolongan Alloh dan kemenangan [ telah berada di tanganmu ], dan kamu lihat manusia masuk Agama Alloh dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan-Mu dan mohonlah ampun kepada-Nya.Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat." (Qs.an Nashr 1-4)

Dalam surat an-Nashr yang telah kita kutip di atas, dapat dibaca bahwa Nabi saw diperintahkan untuk bertasbih dan memuji Tuhan-Nya. Memuji Tuhan adalah Formula kesyukuran yang paling penting, yang kalimat lengkapnya membentuk Hamdalah, yaitu ucapan " Al-hamdulillah " ( segala puji bagi Alloh ), dan mengucapkan atau membaca Formula itu disebut " Tahmid ". Tasbih sendiri, yang Formulanya ialah “Subhanalloh” ( Maha Suci Alloh ) dapat dipandang sebagai pendahuluan logis bagi Tahmid (pujian). Sebab Tasbih mengandung makna pembebasan diri dari buruk sangka kepada Alloh, atau “pembebasan” Alloh dari sangka manusia.

Oleh karena itu, sebenarnya Tasbih memiliki semangat dan makna yang sama dengan “Istighfar”, sebab, dosa apa kiranya yang lebih membahayakan kesejahteraan ruhani kita dari pada dosa buruk sangka kepada Alloh ? sungguh, dalam kitab suci, buruk sangka kepada Alloh disebutkan sebagai salah satu perangai orang-orang yang ingkar kepada-Nya –kafir- (lihat Qs 3:154, 48:6).

Jadi Tasbih sesungguhnya permohonan ampun kepada Alloh atas dosa buruk sangka manusia kepada-Nya. Dan buruk sangka kepada Alloh dapat mengancam manusia setiap saat. Sumber buruk sangka kepada-Nya itu antara lain ialah ketidak mampuan manusia “memahami” Tuhan, karena sepintas lalu manusia, misalnya menerima “nasib” (Arab: nashiib, artinya “Pembagian”) dari Tuha yang menurut kita sebagai manusia “tidak seharusnya” kita terima. Sebabnya adalah, misalnya, manusia merasa telah “berbuat baik” dengan menjalani Perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Jika benar demikian, maka sesungguhnya kita telah terjerembab ke dalam bisikan syetan yang paling berbahaya.
Pertama, kita merasa telah berbuat baik.
Kedua, kita merasa berhak “menagih” kepada Tuhan bahwa perbuatan baik kita itu “semestinya” mendapatkan balasan kebaikan pula.
Ketiga, karena itu kemudian kita “Protes” atau “tidak terima” bahwa kita mengalami hal-hal yang “tidak cocok” dengan semestinya.

Ini semua akan berujung kepada kesombongan (istikbar, takabbur) dan tinggi hati (inad) yang merupakan dosa pertama dan paling berbahaya pada makhluk. Hal ini dilambangkan dan diteladankan pada kesombongan dan ketinggian hati Iblis ketika menolak perintah Tuhan untuk mengakui keunggulan Adam dan bersujud kepadanya, suatu penuturan dalam kita suci yang amat terkenal. Itu semua sebagai dosa buruk sangka kepada Alloh harus dihapus dengan Tasbih.

Maka Tasbih merupakan pendahuluan bagi Tahmid. Sebab Tahmid, Memuji Alloh, yang sebenarnya tidak akan terwujud sebelum terlebih dahulu membebaskan diri dari buruk sangka kepada-Nya itu.
Tasbih adalah proses yang kita perlukan untuk menghapus pesimisme dan pandangan Negative kepada Alloh. Tasbih adalah Proses meratakan jalan agar tidak ada halangan berupa sikap-sikap tidak berpengharapan kepada Alloh. Dan hanya setelah jalan rata serta bebas dari halangan itu maka dapat dilanjutkan dengan Tahmid, Memuji Alloh, menghayati kebaikan Alloh melalui Kasih Sayang-Nya kepada kita.
Penghayatan akan Tuhan sebagai Yang Maha Terpuji, Maha Baik, Maha Pengasih dan Maha Penyayang adalah bentuk religiositas [ Keruhanian ] yang amat berpengaruh kepada perolehan kebahagiaan seseorang. Disini, ada segi yang sangat halus dan mungkin sulit difahami, yaitu menurut hadits Qudsi [firman Alloh lewat pengkalimatan oleh Nabi saw] yang mengatakan bahwa, Alloh mengikuti persangkaan hamba-Nya, bila hamba-Nya berprasangka baik, maka Dia pun akan menganugerahkan kebaikan kepada hamba-nya itu [ Ana ‘inda dhanni ‘abdibii].
Dan persangkaan kepada Alloh yang paling baik ialah persangkaan bahwa Dia merupakan Maha Kasih kepada kita. Sebab Alloh sendiri dalam kitab suci memfirmankan bahwa sifat Kasih atau Rahmah adalah sifat yang “dipastikan” atau “diwajibkan” atas diri-Nya, dan bahwa sifat kasih itu meliputi atau mencakup segala sesuatu (Qs. 6 : 12, 7:156).

Selanjutnya, membangun harapan dalam hidup melalui sikap syukur akan membuat kita senantiasa berpengharapan kepada Alloh tanpa batas.Alloh tampil kepada kita sebagai as-Shomad,tempat harapan.Secara kejiwaan,adanya harapan adalah pangkal kebahagiaan yang amat penting.Dan harapan itulah yang membuat manusia merasa lapang dalam hidup dan mampu bertahan terhadap tantangan dan pancaroba.Seperti dikatakan dalam sebuah ungkapan bijak,"Alangkah sempitnya hidup ini jika tidak karena lapangnya harapan".Dan harapan yang akan melapangkan hidup itu ialah "harapan" kepada Alloh,Yang Maha Tinggi,yang Transendetal.Harapan kepada Tuhan adalah dangkal dan bersifat jangka pendek, atau malah bernilai semu semata,yang banyak mengecoh manusia zaman modern.

Martin Lings ( Abu Bakr Siraj ad-Diin), seorang Muslim Inggris ahli tasauf mengatakan"Sebenarnya,ungkapan bahwa " Manusia tidak dapat hidup tanpa harapan" terbukti seluruhnya sangat benar.Hanya setelah sebagian besar manusia tidak lagi percaya kepada kemungkinan suatu kemajuan "vertikal", yaitu kemajuan pribadi menuju Yang Abadi dan Yang Mutlak,maka manusia mulai mengarahkan harapannya untuk "kemajuan" secara horizontal yang samar-samar lalu meragukannya tidak saja dari segi kemungkinannya [untuk terwujud],tapi juga dari segi apakah hal itu memang diinginkan-dengan asumsi bahwa hal itu akan merupakan hasil dari kecenderungan yang sekarang berlaku- dan yang bagaimanapun juga tidak akan ada orang yang bakal pernah bebas untuk menikmatinya dalam jangka waktu lebih dari beberapa tahun, yaitu masa singkat hidup manusia".

Sikap bersyukur tentu saja ditujukan kepada Alloh,sebagaimana diisyaratkan dalam lafal hamdalah.Tetapi karena begitu banyak kebaikan yang kita sendiri peroleh dari bersyukur kepada Alloh itu yang justru akan memberi kita kebahagiaan, maka jika kita bersyukur maka sesungguhnya kita bersyukur kepada diri sendiri.Alloh tidak perlu bersyukur kepada sikap bersyukur kita,sebagaimana Dia juga tidak memerlukan pujian kita (Qs.Lukman/31:12;al-Naml/27:40).Seperti halnya keseluruhan agama itu sendiri bukanlah untuk "kepentingan" Alloh,melainkan untuk kepentingan manusia,maka demikian pula sikap bersyukur kepada-Nya.



0 comments:

Post a Comment