Saturday, March 5, 2011

MENGENANG ABUYA DIMYATI


Alangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bilang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian. Wirangi (hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan). Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji (mengajar ilmu), salat serta menjalankan kesunatan lainnya.

Beliau lahir sekitar tahun1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.

Abuya Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.

Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.

Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum naran.

Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan
‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi

Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat –pelayat- yang datang ke kediaman Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan dua agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”. (tor/abu-abu/Dari berbagai sumber)


Buku Biografi Abuya Dimyati telah Terbit
Banten - KH. Abuya Dimyati atau Abuya Abuya Cidahu, ulama yang sangat lekat dibenak masyarakat Banten khususnya dan Indonesia pada umumnya. Bahkan banyak warga Buntet yang mondok di pesantrenya. Kini sosok ulama dan pejuang kemerdekaan di Banten ini sudah bisa dinikmati melalui sebuah buku biografi yang berjudul Buku Manaqib Abuya Cidahu, Dalam Pesona Langkah di Dua Alam.

Buku Manaqib Abuya Cidahu ini diluncurkan oleh putra kedua ulama kharismatik itu, KH M Murtadlo Dimyathi di Pondok Pesanteren Cidahu, Kelurahan Cidahu, Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang, Banten, pekan lalu. Dalam acara peluncuran tersebut hadir sejumlah pejabat Provinsi Banten dan Padeglang, serta Jakarta.

Kak Mur, sapaan akrab KH Murtadlo Dimyathi ini mengatakan, Buku Manaqib Abuya Cidahu ini merupakan perjalanan hidup ayahnya yang merupakan tokoh ulama dan juga mantan pejuang di masa kemerdekaan. Oleh sebab itu kenapa dirinya memberi judul tulisannya itu dengan kata-kata 'Dalam Pesona Langkah di Dua Alam'. 

"Singkat kata manaqib adalah perjalanan hidup yang baik dan terpuji, baik menurut adat, bangsa dan negara. Pesona Langkah di Dua Alam, karena Abuya selain seorang ulama juga seorang pejuang," katanya yang ditemui detikcom di kediamannya di Pandeglang, Sabtu (15/11/2008).

Kak Mur menjelaskan, buku yang dibuat tentang ayahnya itu menceritakan hidup Abuya Cidahu semasa kecil, baik dalam hal menuntut ilmu agama ke sejumlah pesantren di seluruh Jawa, perjuangan syiar Islam dan juga perjuangannya melawan kolonialisme Belanda melalui Laskar Hisbullah di wilayah Banten dan Jawa Barat.

Diharapkan Kak Mur, Buku Manaqib Abuya Cidahu bisa dibaca siapa saja, tidak hanya kalangan santri agar bisa diambil pelajarannya. Namun begitu, Kak Mur mengingatkan, agar para pembacanya harus hati-hati dan bisa memahami yang dalam agama. 

Pasalnya, kisah perjuangan ulama dan pejuang Banten ini penuh nilai-nilai dan norma agama bernaunsa tasawuf. "Oleh sebab itu, kita nggak banyak-banyak menerbitkannya. Tapi bagi yang mau baca silakan saja, jangan dipraktikan kalau belum memahami agama Islam secara utuh," jelasnya.

Buku Manqib Abuya Cidahu setebal 400 halaman dengan kertas HVS dibagi dalam 14 Bab. Dimulai bab pertama yang mengisahkan kelahiran, masa kecil dan belajar Abuya Cidahu, termasuk tentang silsilah keluarganya yang masih keturunan Sultan Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah ini. 

Selebihnya mengisahkan hikmah-hikmah hidupnya selama menyebarkan ajaran Islam di Banten. Ketenaran Abuya Cidahu sendiri cukup dikenal para kiai sepuh di Jawa, terutama dari kalangan Nahdliyin (NU) dan juga para pejabat pemerintah pusat. Pada bab terakhir dikisahkan tentang wafatnya kiai yang dikenal sebagai Wali Qutb ini, pada awal bulan Oktober 2003 silam.(dtc)


KH Dimyati Banten Meninggal Dunia
Jumat, 3 Oktober 2003 23:29
Jakarta, NU Online
Kyai kharismatik Banten, KH Dimyati (78) yang memimpin Pondok Pesantren Cidahu di Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang Banten, Jumat dini hari meninggal dunia, di kediamannya di Kampung Cidahu.
Salah seorang kerabat almarhum, H Murtado kepada wartawan, usai pemakaman almarhum, Jumat sore mengatakan, beberapa jam sebelum meninggal, kyai yang sering dikunjungi pejabat negara ini sempat memimpin pengajian bersama santri-santrinya sampai pukul tiga pagi.
"Sekitar pukul tiga pagi, kyai kemudian masuk ke kamarnya. Namun, setelah itu Abah (panggilan kyai Dimyati) tidak keluar lagi," kata dia.
Setelah diperiksa, menurutnya, Abah didapati terbaring di tempat tidur, dan sudah meninggal dunia.
Kabar meninggalnya Dimyati kemudian disebarkan ke kyai yang lain, dan sampai pula ke beberapa pejabat negara, termasuk Wakil Presiden Hamzah Haz yang khabarnya secara khusus mengucapkan bela sungkawa.
"Saya sudah dihubungi Pak Hamzah dan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen TNI Darsono yang mengucapkan rasa duka citanya yang mendalam," ujar Murtado.
Sementara itu, menurut KH Sangadiah MA, salah seorang penasehat Nahdlatul Ulama (NU) Banten, selama hidupnya, Kyai Dimyati sering dikunjungi para pejabat dan mantan pejabat negara, antara lain BJ Habibie, Hamzah Haz, Akbar Tanjung, Siti Hardianti Rukmana (Tutut), dan mantan presiden Soeharto.
"Bahkan Gus Dur saat masih menjabat presiden rela menunggu almarhum selama dua jam hanya untuk bertemu. Almarhum memang sering dimintai pandangannya oleh para pejabat. Tapi ia tidak mau menerima apapun pemberian dari para pejabat itu," katanya.
Buktinya, jelas KH Sangadiah, Kyai Dimyati pernah mengembalikan dana bantuan dari BJ Habibe. Begitu juga bantuan-bantuan dari Tutut, anak mantan presiden Soeharto, dan para pejabat lainnya.
"Kita sangat kehilangan, mudah-mudahan semua langkah yang ditempuh almarhum dapat dicontoh oleh ulama-ulama lainnya," ujarnya.       
Almarhum yang meninggalkan empat orang istri dan delapan orang anak itu, dimakamkan di pemakanan keluarganya, di Cidahu, Jumat sore sekitar pukul 15.30 WIB.(mkf)

Beberapa Memori Abuya Dimyati

Sebuah kenyataan kerugian yang ana akui betul, yaitu ana memang tidak pernah sempat bertemu langsung dengan Abuya Dimyati, yaitu seorang ulama spiritual sekaligus ulama ilmiyah. Akan tetapi, sedih bukanlah jalan keluar, menceritakan sejarah dan kisah beliau adalah lebih utama. semoga cerita yang ana dapatkan ini dapat menjadi bagian dari potret manaqib agung beliau.
Pada tahun 2010, yaitu ketika acara Bahtsul Masail FBMPP Pare di Kandangan, setelah jalsah terakhir ana mendengarkan cerita dari Gus Munir, pengurus NU Kediri. Ketika itu beliau bercerita bahwa ketika beliau menziarahi Pondok Abuya Dimyati di Banten, beliau melihat sendiri bagaimana didikan Abuya yang sangat tegas dan disiplin terhadap anak-anak beliau. Apatah lagi, beliau mewajibkan semua anak-anaknya hafal bukan sahaja al-Qur'an, bukan saja Nazam dan matan kitab2, bahkan sampai hadis-hadis sekalipun. Istilah yang ana dapatkan ketika itu, TIDAK ADA KOMPROMI SOAL ILMU DAN MENGAJI. Bagaimana beliau menghukum santri adalah lebih kuat beliau menghukum anak beliau sendiri ketika salah. Mungkin inilah yang perlu ditiru dan dirubah oleh kyai-kyai di Jawa Timur khususnya, yaitu agar tidak memanjakan gus-gus ini, kerana dikhawatiri ketika ilmu belum bisa diwarisi sang anak, akan tetapi, sifat kyai itu sudah lekat pada sang anak sebelum ia benar-benar menjadi Kyai.
Dengan ini ana teringat ceramah Syeikh Hisham al-Kabbani di Zawiyah, Damansara Bulan December 2010. Ketika itu, beliau menukil dari kitab Talkhish al-Ma'arif, karangan Imam al-Sya'rani yaitu ulama sufi dan fiqh dari Mesir. Dalam nukilan itu, ada 3 orang yang tidak patut disekeliling seorang SYEIKH @ KYAI. Mereka adalah 1) Anak Syekh. Ini dikarenakan dia lahir-lahir dari kecil sudah melihat orang cium tangan bapaknya, orang-orang segan dengan bapaknya, orang-orang mengagungkan bapaknya. Lalu perkara ini akan menular ke dia, dan dia akan merasa sebagai seorang Kyai sebelum dia Kyai. Akan tetapi, kalau sifat ini dapat ditepisi maka dia akan mewarisi ilmu bapaknya dan bahkan jauh lebih dari bapaknya (kesimpulan ringkas). 2) Istri Syekh dan 3) Khadam Syeikh (Kerana ini bukan tujuan pembahasan maka yang kedua dan ketiga ana skip dulu). Dari kesimpulan ini, ana berpendapat dan mengusulkan kepada Kyai-Kyai di Jawa Timur untuk menghilangkan sifat "memulyakan gus yang masih belum berilmutinggi". Ini adalah agar gus-gus di Jawa Timur dapat berjaya meneruskan pesantren bapaknya dan bahkan menjadi ulama ternama di Nusantara bahkan Dunia.
Salah satu cerita karomah yang diceritakan Gus Munir lagi adalah, di mana ada seorang kyai dari Jawa yang pergi ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani di Irak. Ketika itu, kyai tersebut merasa sangat bangga kerana banyak kyai di Indonesia paling jauh mereka ziarah adalah maqam Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dia dapat menziarahi sampai ke Maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. ketika sampai di maqam tersebut, maka penjaga maqam bertanya padanya, "darimana kamu (Bahasa Arab)". si Kyai menjawab, dari Indonesia. maka penjaganya langsung bilang, oh di sini ada setiap malam Juma'at seorang ulama Indonesia yang kalau datang ziarah dan duduk saja depan maqam, maka segenap penziarah akan diam dan menghormati beliau, sehinggalah beliau mula membaca al-Qur'an, maka penziarah lain akan meneruskan bacaan mereka sendiri2. Maka Kyai tadi kaget, dan berniat untuk menunggu sampai malam jumaat agar tahu siapa sebenarnya ulama tersebut. Ternyata pada hari yang ditunggu-tunggu, ulama tersebut adalah Abuya Dimyati. Maka kyai tersebut terus kagum, dan ketika pulang ke Jawa, dia menceritakan bagaimana beliau bertemu Abuya Dimyati di maqam Syeikh Abdul Qadir al-Jailani ketika itu Abuya masih di pondok dan mengaji dengan santri-santrinya.
Kembali pada manaqib Abuya Dimyati, ana ingin menceritakan sebuah riwayat tentang karomah Abuya Dimyati yang ana dengar dari Uncle (paman) Zaujah ana dari Bogor, yaitu KH Hasan Basri, Parungsapi, Jasinga, Bogor. Ketika itu, beliau bercerita bahwa pada suatu malam Juma'at, paman ana sedang mengisi minyak kereta di pom bensin (Gas Station) dekat dengan pesantrennya. pada saat yang sama ada ambulans yang sedang mengisi bensin juga. ketika bensin hampir penuh, paman bertanya kepada orang siapa yang ada di dalam ambulans itu. maka seketika penjaga pom bensin kata itu adalah Abuya Dimyati. Beliau lagi sakit dan segera bawa ke pondok. Ambulan itu pun beredar dari pom bensin, maka sejenak setelah selesai isi bensin, paman bergegas menaiki mobil dan mengejar ambulan tersebut, yang ketika itu dalam mobil ada temennya juga. dalam perjalanan, ambulan tersebut berjalan laju dan mobil paman terus lari naik turun bukit dari Jasinga ke Pandegelang yang mengambil masa sekitar 6 jam. Dengan kejar kejaran tersebut, akhirnya ambulan itu pun masuk ke lokasi pondok setelah beberapa detik paman pun masuk lokasi pondok, akan tetapi ambulan itu sudah tidak ada.
Akan tetapi yang ada adalah orang ramai dan mobil-mobil sedang parkir dan semua orang sedang menghadiri persaksian jasad Abuya Dimyati yang ternyata meninggal pada malam tadi sekitar pukul 3 lebih dikit. Ternyata salah satu karamah Abuya telah disaksikan Paman sendiri, di mana hakikatnya, Jasad Abuya sememangnya hanya ada di Banten yaitu di rumahnya, karena anaknya Kak Muntaqo pada hari itu adalah hari resepsinya. Dari mana ambulan itu? Hanya Masya Allah yang dapat dirasai oleh paman.

0 comments:

Post a Comment