Thursday, June 30, 2011

Syaikh San’an dan Gadis Nasrani

Dahulu kala di negeri Arab di kota Suci Mekkah hiduplah seorang Syaikh Sufi yang sangat saleh, seorang guru yang terhormat dan dikenal luas hingga kenegeri jauh, dia bernama Syaikh San’an. Selama limapuluh tahun dia telah mengabdikan hidupnya dalam berkhidmat untuk pelayanan kepada Allah swt dan kepada mahlukNya. Syaikh San’an tinggal di tanah Suci Makkah untuk membimbing murid-muridnya dalam perjalanan spiritual mereka, membersihkan jiwa mereka melalui pelayanan dan menanamkan Cinta Ilahian kedalam setiap hati muridnya.

Dimalam hari Syaikh San’an sering bersendirian dalam salat dan doanya yang penuh kerendah hatian. Orang-orang yang datang kekota Makkah untuk menunaikan ibadah Haji sering singgah ke Zawiyahnya (tempat dzikir) untuk mendengarkan nasehatnya dan belajar dari ajaran-ajarannya. Syaikh San’an memiliki 400 orang murid yang setia kepadanya dan siap melakukan apapun perintahnya tanpa menghiarukan kepentingan dan kemauan mereka sendiri. Mereka percaya kepada Syaikh San’an sepenuh hati, bahkan jika mereka harus pergi meninggalkan anak istri orangtua dan harta mereka demi berkhidmat kepada gurunya.

Suatu malam Syaikh San’an bermimpi, ia melihat dirinya berada Kota Roma di Kekaisaran Byzantium. Syaikh San’an melihat dirinya bersujud menyembah berhala, sehingga dengan terkejut Syaikh pun terbangun dari tidurnya dalam keadaan cemas dan terguncang bahwa mimpi itu adalah sebuah peringatan dari Tuhannya tentang kejadian yang akan menimpa dirinya dimasa mendatang. Keesokan harinya ia berusaha untuk melupakan mimpi itu dan tidak menghiraukan arti mimpinya tersebut dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa mimpi itu hanyalah sekedar bunga tidur belaka.

Namun dimalam-malam berikutnya dia bermimpi hal yang sama, sehingga dia dihantui oleh mimpinya tersebut dan memperoleh pandangan bahwa mimpi itu adalah mimpi yang benar. Akhirnya beliau memutuskan untuk pergi ke Byzantium untuk mengetahui apa yang telah ditetapkan tuhan atas dirinya. Sewaktu Syaikh San’an bersiap-siap pergi, banyak dari muridnya bersikeras menemaninya sebagaimana lazim terjadi dimasa itu. Syaikh Sanan mengingatkan mereka bahwa perjalanan yang akan ditempuhnya tidaklah menyenangkan, tetapi murid-muridnya tetap bersikeras untuk menemaninya. Syaikh San’an dan murid-muridnya pun berangkat berjalan kaki siang dan malam dibawah siraman hujan dan sengatan tertik matahari yang membakar, dan tak seorangpun mengeluh dengan kesulitan yang mereka hadapi.

“jika kau harus berjalan, maka jalanilah perjalananmu
karena mungkin ada petunjuk rindu disana
karena apapun yang menjadikan hatimu bergetar hebat
mungkin itulah yang terbaik bagimu”

Sampai akhirnya mereka tiba dipinggiran kota Rumawi, dekat sebuah biara. Ketika mereka sedang mencari tempat untuk beristirahat, Syaikh San’an mendengar suara yang sangat indah menyentuh jiwanya, suara ini lebih lembut ketimbang hembusan angin dan lebih ringan ketimbang buluh perindu. Suara indah ini melantunkan lagu cinta yang sangat menyayat hati yang membuat hati terluka dan berdarah dengan hasrat cinta yang membara.

Ketika Syaikh San’an mengikuti datangnya suara itu, ia melihat sebuah jendela terbuka dilantai kedua biara dan seorang gadis nasrani tengah duduk di jendela sambil menyisir rambutnya yang panjang keemasan serta melantunkan lagu sedih. Pantulan cahaya pada rambutnya dan bibirnya yang kemerahan, bagai delima merekah. Raut mukanya menunjukkan bahwa ia memiliki keindahan merenungkan keindahan ilahiah. Bagai cahaya matahari air mukanya dan leher jenjangnya yang putih melahirkan pemandangan sedemikan dahsyat sehingga bahkan seorang soleh sekalipun seperti Syaikh San’an terpesona dan asik memandangnya sekan tak pernah puas. Syaikh San’an merasakan kegairahan nafsu cinta yang membara. Maka siapa yang tak akan terjerat hatinya disetiap helaian tatapan mata yang memikat.

Pagi tampak lebih hitam warnanya karena rambut hitam gadis itu, dan negeri Yunani tampak berkeriput karena keindahan lesung pipinya. Kedua matanya mengundang bagi para pencinta, dan kedua alisnya yang melengkung merupakan dua bilah sabit di atas bulan kembar. Matanya bersinar menawan sehingga bahkan seratus hati pun menjadi mangsanya. Wajahnya berbinar bagai caya matahari yang menghidupkan nafsu cinta, merah bibirnya yang basah dapat membuat semesta dunia dahaga. Bulu-bulu matanya yang lentik bagaikan seratus pisau belati yang menerkam menghujam kedalam hati.
Bila ia mengangkat matanya, hati syaikh itu pun berkobar membara tak dapat ia mengalihkan matanya dari gadis Nasrani ini, dan sedemikian besar cintanya hingga maksudnya terluncur dari tangannya. Kekufuran dari rambut si gadis menghancurkan keimanan Syaikh Sanan. Syaikh berseru mengeluh, "Ya Allah, betapa hebatnya cinta yang kurasakan terhadapnya. Bila agama membebaskan ku, alangkah beruntungnya hati!"

Perasaan cinta ketika melihat gadis itu melumpuhkan Syaikh San’an, seakan terpaku ditempat itu dan tak bisa lagi bergerak. Jantungnya berdebar kereas dan dia merasa hampir tak bisa bernafas. Dan dalam waktu sekejep Syaikh San’an pun terjerat cinta pada gadis nasrani yang tidak dikenalnya itu. Akhirnya dia terduduk ditempat itu. Seluruh tubuhnya gemetar dan ia merintih menyayat hati siapapun yang mendengarnya,

”Wahai Tuhanku apa yang terjadi pada diriku?
Api apakah yang membakar jiwaku dan merampas wujudku?.

Syaikh San’an duduk dalam api cinta yang membakar yang mengharubiru pikiran dan jiwanya. Dalam sekejap ia telah lupa pada jati dirinya bahwa ia seorang Syaikh yang sangat terhormat bersama empat ratus pengikutnya yang menyertainya.

Tak ada lagi sesuatu yang dapat menyibukan dirinya selain bersimpuh memandang wajah gadis nasrani itu. Namun gadis itupun berdiri di jendela tidak lama. Ia meninggalkan jendela itu dan menghilang begitu saja dari tatapan Syaikh San’an, bahkan tanpa ia mengetahui dan mempedulikan ratapan dan rintihan cinta Syaikh San’an. Murid-muridnya yang mengetahui gurunya tersiksa dalam kepedihan api cinta seperti ini, mereka tidak tahu harus berbuat apa. Mereka mengira bahwa shaikh mungkin mengalami satu tahapan tertentu dalam perjalanan kesufian. Mereka mencoba mengajukan berbagai kemungkinan ini kepadanya, tapi semua itu hanya sia-sia belaka.

“O cintaku, kita memilih kegembiraan-kegembiraan
dan kesedihan-kesedihan kita, lama sebelum kita mengalaminya
wahai cinta, kita hidup hanyalah untuk menemukan keindahanMu
sementara lainnya hanyalah sebentuk penantian”

Syaikh San’an sudah tidak mau mendengar apa yang mereka katakan, dan terus berdiri memandangi jendela kosong dikamar gadis nasrani itu. Malampun datang menjelang dan hati Syaikh makin bertambah kepedihannya sewaktu menyadari bahwa ia mesti menunggu sampai esok pagi untuk dapat melihat kekasihnya lagi. Tampaknya kegelapan dan kesepian malam makin membuat cintanya tambah bergejolak, yang menambah kerinduan cintanya menggelegak sehingga hatinya makin terluka. Ia tak tahu bersama siapakah gadis itu menghabisi malam-malamnya, hatinyapun terbakar api kecemburuan. Dia meratap dan merangkak ditanah, menggenggam tanah dengan tangannya yang gemetar dan membasahinya dengan airmata cinta. Belum pernah dia merasakan malam sedemikan panjang tangisnya.

“jika kau harus menangis, maka menangislah
meskipun kau tak tahu mengapa kau menitikan airmata
karena kau tetap tak pernah tahu, akibat tangis terhadap hati”

Sepanjang malam Syaikh San’an merintih pedih, “Duhai Tuhanku, malam-malam kepedihan pernah kulalui Ya Robb, tetapi tidak seperti malam ini yang membuatku demikian pedih dan malam serasa demikian panjang. Aku merasa seperti lilin yang tak sanggup lagi bertahan semalaman menunggu pagi. Wahai cintaku, cahayaku akan padam kala matahari terbit dan aku tak kuasa menuturkan kisah tentang malam yang menakutkan ini”. Tak sanggup lagi aku bersabar menghabiskan malam hari tanpa memandang wajah indahmu, pun tak kuasa pula pikiranku meyakinkan diriku dengan datangnya pagi hari. Tubuhku hancur berkeping-keping lantaran menanggung beban berat cinta ini. Wahai Tuhanku, dimanakah gerangan hatikuku yang terbakar, biar kukubur diriku dalam lumpur agar tak menanggung beban berat perpisahan seperti ini.

“Duhai kekasihku, dimanakah kakiku agar kuantar diriku kepintumu, dipintu pagarmu ku kan selalu menunggu kau kembali. Agh… kalau saja aku punya sahabat yang simpatinya dapat meringankan beban cintaku ini.” Duhai kekasih, kukira aku sudah tak punya apa-apa lagi, semua diriku, telah kuserahkan segalanya pada cinta yang telah merampas malam-malamku ini.

Dengan rasa iba yang dalam, murid-muridnya pun mengelilingi guru mereka yang ditimpa kepedihan dan mereka menangis bersamanya sepanjang malam. Mereka menangis bukan lantaran mereka mengerti tetang cinta itu, melainkan lebih karena kesedihan dan kebingungan mengenai apa yang terjadi atas guru mereka.

Begitulah Syaikh San’an amat tergila-gila dan jatuh cinta pada gadis nasrani dibiara itu. Kegilaan seperti ini begitu menguasai dirinya sehingga ia lupa pada segala sesuatu dimasa lalunya. Seakan-akan dia tak lagi mengenal dunia ini. Yang terlintas dalam benaknya hanyalah “sepasang mata yang sangat menawan” yang mengikuti dirinya kemanapun ia pergi.

Dimalam kedua Syaikh San’an sangat gelisah dan resah sehingga murid-muridnya kembali mengelilinginyaa dan mengkhawatirkan keadaan gurunya. Mereka berpikir apakah mereka masih belum bisa berbicara kapada gurunya lantaran pikirannya terganggu. Masing-masing dari mereka mencoba datang kepadanya dan memberikan saran serta nasehat.

“Wahai guruku mengapa engkau tak melupakan saja gadis itu. lakukanlah wudhu untuk membersihkan jiwamu dan kemudian kita pulang bersama-sama”. Dengan marah Syaikh San’an menjawab,”Aku telah berwudhu seratus kali dari darah hatiku yang terluka dan jangan berbicara padaku tentang wudhu. Kalian sama sekali tidak mengetahui tentang hati yang terluka diakibatkan cinta”.

Murid kedua kemudian maju dan berkata “Wahai guruku, jika engkau bertobat tentang segala dosamu, maka Allah swt akan mengampunimu, sebab engkau telah mengabdikan dirimu sebagai Syaikh sufi selama bertahun-tahun”. “Wahai muridku, yang kusesali dan kumintakan tobat adalah “ke-Syaikhanku” padahal aku tak pantas menggenggamnya”.

“Wahai guruku, engkau adalah pembimbing kami menuju cahaya, jalan menuju Allah. Jika engkau berdoa kepadaNya, Dia pasti mendengar dan mengampunimu”. “Wahai muridku, aku mendoakan gadis itu, sebab dia adalah satu-satunya perhatian dari doa-doaku” .“Wahai guruku, tidakkah engkau menyesali cinta ini, yang membuatmu benar-benar gila dan kehilangan akal?”. “Wahai muridku, aku memang menyesali satu hal saja, yakni aku cepat jatuh cinta, hanya itulah yang kusesali”.

Kemudian murid lainnya berkata “Wahai guruku, tidak kah engkau peduli pada pandangan orang lain? Apa kata orang-orang jika mereka mendengar bahwa Syaikh kami yang telah terkenal kesolehannya telah tersesat”. “Wahai kalian, aku tak peduli apa kata orang-orang tentang diriku. Mengapa aku mesti peduli dengan label gelar yang mereka berikan dan kenakan pada diriku, cintaku membebaskanku dari semua ikatan itu”.

“Wahai guruku, tidak kah engkau peduli dengan sahabat-sahabtmu, dengan kami para murid-muridmu? Tidak kah engkau sadari bahwa tingkah lakumu membuat hati kami sedih”. “Wahai muridku, kepedulianku hanyalah melihat kekasihku bahgaia dan tidak ada orang lain bagiku, tidak juga kalian”. “Wahai guruku, marilah kita kembali ke Mekkah dan Kabahnya yang suci dan lupakan perjalan ini dan apapun yang terjadi disini”. “Wahai muridku, Mekkah ku adalah biara ini dimana kekasihku tinggal dan Ka’bah ku adalah gadis yang kucintai itu. Ditempat inilah orang bisa mabuk oleh cinta, dan bukan disana.”

“Wahai guruku, paling tidak ingatlah surgaNya, engkau sudah tua enampuluh lima tahun, dan tak punya banyak waktu dan jka engkau mengharapkan surga jangan teruskan keburukan ini”. “Wahai muridku, adakah surga yang lebih indah dari wajah bidadari kekasihku? Apa perlunya surga yang lain bagiku, jika aku punya surga yang lebih indah ini”. “Wahai guruku tidak kah engkau malu dihadapan Allah Yang Maha Kuasa, bahwa selama bertahun-tahun Dia menjadi satu-satunya pusat perhatianmu. Bagaimana engkau kini bisa mengkhianatiNya?”. “Wahai muridku, bagaimana aku bisa lolos dari jebakan Cinta yang dipasang oleh Allah sendiri untuk ku?

Akhirnya murid terakhir berkata “Wahai Syaikhku ini adalah permintaan terakhir kami kepadamu. Demi Allah kembalilah kepada keimanan dan jangan tinggalkan kami murid-muridmu”. Syaikh menjawab, “Wahai muridku janganlah kau mengajukan permintaan seperti itu kepadaku. Aku telah tenggelam dalam kemurtadan, dan bagi seorang yang meninggalkan keimanan dan memilih kemurtadan, maka tidak ada kata kembali, Agamaku adalah agama cinta, kemana cinta membawaku akan kuturuti kemana ia pergi”.

Ketika murid-muirdnya mengetahui bahwa berbagai alasan yang mereka kemukakan tidak berguna, mereka akhirnya memutuskan untuk pindah ketempat disekitar biara itu agar dapat berdekatan dengan Syaikh San’an, kalau-kalau saja dia berubah pikiran. Satu-satunya cara mereka dapat menanggung derita kepedihan dengan hilangnya guru mereka adalah dengan terus berdoa kepada Allah swt dan berharap bahwa segala sesuatu akan segera kembali normal.

Siang dan malampun berlalu, minggu demi minggu, bulan demi bulan berlalu, tetapi tak ada perubahan sedikitpun. Syaikh San’an tetap berada dipinggir jalan itu seperti pengemis yang menunggu kekasihnya lewat. Ditempat itu diseberang Biara adalah tempat dimana anjing-anjing kampung berkumpul dan Syaikh San’an tidur beralaskan tanah beratapkan lengit, tidur bersama anjing-anjing itu dan menjadikannya sebagai rumahnya. Tempat itu terletak disepanjang jalan yang selalu ditempuh gadis itu menuju kota. Sambil berharap bahwa gadis itu suatu ketika akan melihat dirinya. Syaikh berdiri disana dengan sabar dan memandangnya dengan penuh kerinduan cinta setiap gadis itu lewat. Tetapi gadis itu bahkan tak pernah memperhatikannya dan selalu melanjutkan perjalanannya kekota seolah-olah ia tak pernah melihatnya sama sekali, bahkan tak pernah meliriknya sedikitpun.

Tanpa mengetahui nama kekasihnya, Syaikh San’an memberi nama gadis itu “Sang Cahaya Matahari”, Dia menggubah begitu banyak puisi dengan namanya, melantunkan bait-bait puisi dengan nada sedih. Ia benar-benar telah ditelan oleh cintanya sehingga ia tak lagi peduli makan minum dan tidurnya. Jika kebetulan seseorang membuang sisa makanan pada anjing-anjing jalanan, maka iapun turut berebutan makan bersama anjing-anjing itu, kerena kalau tidak, ia akan kelaparan karena cinta.

Akhirnya gadis itu melihat lelaki tua aneh yang selalu duduk ditanah berdebu karena ia penasaran iapun bertanya, “Wahai orangtua mengapa engkau tinggal disini bersama anjing-anjing itu apakah engkau tidak mempunyai rumah atau keluarga?”. Merasa gembira dan senang dengan perhatian gadis itu, Syaikh menjawab,”Aku tak punya rumah dan juga keluarga, yang kuketahui hanyalah bahwa aku telah jatuh cinta kepedamu dan akan tetap berada disini sampai aku pantas menerima cintamu wahai Cahaya Matahariku”.

Sang gadis itu tertawa mendengar jawaban Syaikh San’an dan mengejeknya, “Wahai orang tua, tidak kah engkau malu pada dirimu sendiri? Engkau sudah tua dan lebih pantas menjadi kakekku. Seorang gadis muda secantiik diriku lebih pantas mendapatkan seorang pemuda kaya dan tampan”. Syaikh menjawab,“Wahai Cahaya Matahariku, cinta tak mengenal usia, betapapun muda atau tua seseorang, cinta mempunyai pengaruh yang sama. Wahai matahariku, aku akan mengabdi kepadamu dan akan melakukan apa saja yang akan kau perintahkan kepadaku. Syaikh begitu fasih berbicara tentang cinta dan kepedihan cinta sehingga gadis itu perlahan-lahan merasakan ketulusan dari kata-katanya.

Gadis itu tahu dan sadar bahwa shaykh akan melakukan apa saja yang dia perintahkan dan dia inginkan. Lantas diapun berkata kepada Syaikh San’an, “Jika apa yang kau katakan itu benar maka engkau harus meninggalkan agamamu dan memeluk agama kami dan engkau harus minum khamar (minuman keras) dan mencampakan jubahmu”. Syaikh San’an menjawab dengan tenang permintaan yang mengejutkan ini. “Cinta memang menyuguhkan banyak tantangan, bagi seorang pecinta meski ujian dan cobaanya berdarah dan kejam toh hasilnya tetaplah manis dan menyenangkan. Pecinta sejati tak mengenal agama, sebab cinta itu sendiri adalah agamanya. Cinta tak mengenal status, sebab tak ada posisi yang lebih tinggi daripada cinta itu sendiri.

Tak puas dengan jawaban itu, sang gadis menantang syaikh untuk mengumumkan kemurtadannya didepan banyak orang, didepan seluruh peduduk di kota Rum termasuk para pendeta dan kaum agamawan Bizantyum. Mendengar bahwa seorang shaykh sufi yang sangat terkenal dan disebut banyak orang sebagai orang yang saleh dan terhormat setuju meninggalkan agamanya, maka merekapun merayakannya dan mereka mengadakan upacara meriah yang didalamnya shaykh melemparkan jubah kesufian dan mencampakan al-Qur’an kedalam api. Syaikh merobek dan menanggalkan jubahnya serta mengenakan jubah Nasrani kemudian ia minum arak dan bertekuk lutut dihadapan gadis itu. Bagaikan orang yang hilang kesadaran tentang dirinya dia bergembira bersama yang lain sambil bernyanyi, “kini aku bukanlah apa-apa lagi demi cintaku. Aku terhinakan dalam cinta, tetapi tak seorangpun melihat apa yang bisa ku lihat dengan mata cinta”.

Disaat penduduk Nasrani negeri Rumawi bergembira dan berpesta meriah, para murid shaykh meratap dan menangis pedih. Hati mereka sedih dan hancur dan tampaknya shaykh tidak akan pernah mengetahui kepedihan mereka, atau mendengar ratapan tangis mereka. Sementara dalam pesta itu dengan senang hati Syaikh San’an mematuhi perintah kekasihnya, dia tak peduli apakah hal itu melanggar ketentuan ajaran islam yang dianut sebelumnya. Tak cukup dengan mempermalukan syaikh didepan umum gadis itupun meminta yang lebih lagi dari Syaikh San’an. Kemudian Syaikh San’an membuktikan cintanya dengn memenuhi segala keinginan gadis itu. Ia bertanya apa lagi yang bisa kulakukan untukmu dan gadis itu memalingkan wajahnya kebelakang dan tertawa.

“Engkau harus memberiku istana, uang, berlian, emas dan perak jika engkau tak mempunyai maka jangan membuang-buang waktuku, enyahlah dirimu wahai orang tua tak tahu malu, enyahlah dari pandanganku. Dengan kepedihan yang sangat Shaykh menjawab,”Aku tak punya tempat tujuan lain kecuali biaramu, sebab aku telah kehilangan diriku dalam cinta ku kepadamu, Aku tak punya apa-apa selain hatiku bahkan itupun sudah kuberikan kepadamu. Aku tak bisa hidup tanpa dirimu, dan aku tak sanggup lagi berpisah darimu, setelah seluruh yang ada pada diriku telah kuberikan semua kepadamu. Aku akan melakukan apapun yang kau mau, asalkan aku dapat bersatu denganmu wahai Cahaya Matahariku”.

Wahai cinta... oh kekasih hati
kirim bayang-bayang cintaMu ke bumi bagai jerat bagi hatiku
cinta bukan untuk yang lemah dan menyenangkan hati
memberikan cinta adalah urusan para pembrani


Tak puas dengan jawaban Syaikh, gadis itu menetapkan syarat-syarat perkawinan dengannya. Gadis sambil berpikir berkata, engkau harus mau marawat babi-babiku ini selama setahun. Setelah setahun penuh dan engkau menyelesaikan pekerjaanum dengan baik maka aku siap menjadi istrimu. Dengan senang hati Syaikh San’an tinggal dikandang babi dan dengan penuh perhatian dan kasih saying dia merawat hewan yang sangat menjijikan dan dibenci oleh kaum muslim itu. Syaikh merasa segala sesuatu yang menjadi milik kekasihnya dia jaga dengan sepenuh kasih sayang, tetapi murid-murid shaykh merasa sangat malu melihat guru mereka tinggal bersama babi-babi itu.

cinta selalu dengan sejuta rasa sakit,
karena itulah mengapa ia disebut Cinta
ditangan kekasihku digenggamnya sejuta derita.....
karena tanpa derita, Cinta hanya hampa belaka

wahai cinta kau jadikan dia pahit dibibirku
wahai cinta kau gigit pedih darah jantungku
sampai kau bekukan gejolak nafas dan nafsuku
sampai kau uji cintaku dalam cintaMu


Merekapun datang kepada shaykh dan memohon dengan sangat apakah yang kami harus lakukan sekarang wahai guruku? Apakah engkau juga menginginkan agar kami menganut agama Kristen maka kami akan lakukan dan tinggal bersamamu. Jika kamu menyuruh kami berbuat demikian. Syaikh San’an mengatakan kepada mereka bahwa ia tidak lagi menginginkan apapun dari mereka, dan bahwa mereka bisa menempuh jalan mereka sendiri, tinggalkan diriku bersama babi-babi ini. Jika ada orang yang bertanya tentang diriku mereka harus mengatakan sejujurnya. Aku tak punya waktu lagi untuk kalian, sebab aku disibukan oleh tugas dari kekasihku merawat babi-babi ini.

sebelum ini, kekasihku menganugerahiku
dengan derita yang bersemayam dalam airmata
dulu ada seribu kepedihan, dan kupanggil dia Cinta
dulu ada seribu penderitaan, dan ku sebut dia Kekasih

Sambil menangis akhirnya seluruh murid-muridnya meninggalkan Syaikh nya dan kembali kekampung halaman merekapun berjalan ke Mekkah dengan meninggalkan syaikh dalam kepedihan dan penderitaan yang amat sangat. Setiba mereka di Mekkah, mereka mengurung diri didalam rumah karena takut harus menjelaskan kepada setiap orang mengapa mereka tidak kemablai bersama Syaikh San’an dan apa yang terjadi di rumawi. Namun ada seorang yang tidak bisa mereka hindari, karena dia adalah murid kesayangan Syaikh dan teman seperguruan mereka. Murid ini sedang mendapat tugas melakukan perjalanan jauh sewaktu shaykh dan murid-muridnya berangkat ke kota Rumawi. Ketika dia pulang dan tak berjumpa dengan gurunya, dia bertanya kepada yang lain, lalu mereka menceritakan sejujurnya apa yang terjadi kepadanya.

Ketika teman-temannya selesai bercerita, murid kesayangan syaikh itu menangis dengan kepedihan teramat sangat dalam yang berasal dari relung kalbunya dan berteriak marah kepada mereka semua, ”Murid macam apa kalian ini !!. Jika kalian mengaku mencintai guru kita, maka kalian harus setia kepada pengakuan kalian. Seharusnya kalian malu pada diri kalian sendiri, jika guru kalian mencampakan jubah sufinya dan mengenakan jubah Nasrani, maka kalianpun juga harus melakukannya. Jika ia tinggal dikandang babi, maka kalianpun harus mengikutinya!. Itulah yang dituntut oleh Cinta!. Tak peduli disebut skandal kemurtadan atau bahkan kegilaan. Berani benar kalian menilai guru kita sebagai telah melakukan kesalahan !! Apa otoritas atau wewenang yang kalian miliki sampai berani benar kalian menganjurkan kepada guru kalian untuk meninggalkan gadis yang beliau cintai.”

Merasa malu kepada sahabat itu mereka para murid menundukkan kepala dengan kesedihan yang dalam dan penuh penyesalan. Mereka mengurung diri mereka cukup lama dirumah murid setia itu. Selama kurun waktu ini, mereka tidak makan dan tidak minum. Dan pada hari ke 40, sang murid setia itu tiba-tiba menangis sepanjang siang dan malam dengan penuh kesedihan atas cobaan yang menimpa gurunya, dan ia bermimpi melihat segumpalan debu hitam dari biara itu melayang-layang diantara Syaikh San’an dan Tuhan. Tiba-tiba debu itu membumbung keatas dan syaikh pun dipeluk oleh cahaya yang sangat indah, kemudian terdengarlah suara keabadian berseru,

”Seseorg harus dibakar dahulu kedalam api cinta
untuk berhak memandang Sang Kekasih Abadi
Dalam cinta, nama dan kedudukan sama sekali tak berarti.

“Dalam ajaran cinta, sebelum ia bisa memandang kebenaran
Maka dari setitik debu eksitensinya harus dibersihkan dari cermin jiwanya
sesudah itu barulah ia bisa melihat pantulan Kekasih Hakiki dalam cermin itu”.

Sang murid itupun mendatangi para sahabatnya dan menuturkan penglihatan dalam mimpinya kepada mereka. Tanpa membuang waktu merekapun pergi bersama menuju Kota Rum. Diluar kota mereka menemukan Syaikh mereka dalam keadaaan bersujud ditanah kepada Allah. Wajah Syaikh mereka demikian indah bening dipenuhi cahaya kemilau Ilahi.

Sesudah cinta itu melampui masjid dan biara, ia terbebas dari Islam atau Nasrani. Setelah kehilangan segenap keterikatan pada status atau kesolehannya Syaikh San’an pun terbebas dari eksistensi dirinya sendiri dan bersatu dengan kekasih sejatinya. Syaikh lama terdiam tetapi matanya memamancarkan kegembiraan tersembunyi yang hanya diketahui oleh sang kekasih dan pecinta. Murid-muridnya pun berkumpul mengeliling guru mereka dan akhirnya Syaikh San’an bergabung kembali dengan murid-muridnya. Mereka bersama-sama berangkat pulang menuju Makkah.

Sang gadis melihat persiapan kepergian Syaikh San’an dan tersentak melihat murid-muridnya telah kembali kepada Syaikh San’an untuk menjemputnya. Seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Dia tidak pernah mengalami perasaan bersalah sebelumnya, dan tiba-tiba muncul perasaan yang asing dan sama sekali ia tidak pahami dari cinta Syaikh San’an kepadanya. Dia teringat kembali semua kilasan peristiwa ketika Syaikh San’an mengemis merintih memohon cintanya dengan segala ketuaan dari penderitaan cintanya. Tetapi saat ini, dari jauh ia melihat Syaikh San’an demikian indah, muda, berwibawa penuh cahaya keindahan ilahiah yang dirindukannya.

Bersamaan dengan kepergian Syaikh San’an yang telah melampaui ekstase cinta ilahiah, sang gadis nasrani yang diberi nama oleh Syaikh San’an dangan sebutan “Cahaya Matahari” mengalami sebuah mimpi yang luar biasa dimalam hari kepergiannya. Dalam mimpi itu dia melihat Tuhan menampkan diri kepadanya sebagai sebuah Cahaya Keemasan Matahari yang demikian menyilaukan keindahanNya, sehingga gadis itu mengalami ekstase yang luar biasa oleh kerinduan cintaNya. Dia bersujud ketanah dan merintih hebat dengan rintihan yang sangat memedihkan hati siapapun yang mendengarnya, “Duhai Tuhanku betapa jahilnya manusia yang belum pernah melihat keindahanMu. Betapa tersesatnya mereka yang tidak mengenalMu. Wahai Tuhanku Yang Maha Pengasih, kasihanilah diriku ini yang demikian bodoh melihat cinta kekasihMu yang mencintaiMu, tunjukkanlah kepadaku jalan menujuMu, karena aku telah melihat keindahanMu, dan aku tak bisa lagi hidup tanpa diriMu, dan aku tak akan berhenti sekejap pun sampai aku bersatu denganMu”.

Gadis itu mengalami keadaan fana selama tiga hari dan menangis selama berjam-jam yang tangisannya memedihkan hati siapapun yang mendengarnya. Dimalam ketiga akhirnya terdengarlah sebuah seruan dari langit, “Wahai hambaKu, pergilah kepada Syaikh San’an, karena melalui dialah, maka Aku akan menunjukan jalan kepadamu, dialah kunci pembuka pintu spiritualmu menujuKU. Seketika ia mendengar suara itu, sang gadis berlari keluar tanpa sempat mengenakan sepatunya. Ia tahu bahwa Syaikh San’an telah berangkat kembali ke Mekkah. Gadis itu terus berlari keluar dari kotanya menuju gurun sahara yang kering untuk mengejar dan mencari kafilah Syaikh San’an. Akan tetapi sudah sangat terlambat, kafilah itu sudah berangkat tiga hari sebelumnya.

Dengan kaki telanjang gadis itu berlari siang dan malam tanpa berhenti, tanpa makan dan minum. Disepanjang perjalanan airmatanya membasahi tanah yang kering dan dari tetesan airmata cintanya, tumbuhlah bunga-bunga mawar cinta yang indah berwarna merah kelam yang berbau sangat harum, orang mengenalnya sebagai mawar merah surgawi, mawar yang tumbuh dari tetesan air cinta telaga kautsar. Gadis itu terus menangis dalam keadaan kepedihan cinta dengan perasaan tak berdaya seraya memanggil-manggil nama Syaikh San’an dengan penuh cinta yang tulus dan perasaan penghormatan yang dalam dan khidmat kepada Syaikh San’an. Seketika itu gadis itupun merasakan kepedihan yang sama bagaimana kepedihan Syaikh San’an ketika mengemis cintanya dan dia mempermainkannya dengan penuh kesombongan akan kecantikan dirinya yang tak pantas untuk bersanding dengan orang setua Syaikh San’an. Hatinya demikian pedih karena teringat ingatan dia telah menyakit hati Syaikh demikian dalam.

“jika seseorang menyakitimu,
engkau bisa melupakan rasa sakitnya,
meskipun sakit itu demikian pedih kau rasakan

tetapi jika engkau menyakiti dia yang begitu mencintaimu
maka engkau akan selalu teringat kepedihannya,

sesungguhnya dia yang mencintaimu dengan penuh ketulusan
adalah bagian dirimu yang paling sensitif dalam tubuh yang lain”

Gadis nasrani itu terus merintih memohon ketika akhirnya dia terjatuh “Wahai kekasihku maafkan diriku akan kebodohan yang tak mengenal cinta dari cintaNYA, wahai kekasihku, wahai Syaikh San’an tunggulah diriku yang hina ini, janganlah pergi semakin menjauhiku, wahai kekasih yang dengan mendengar suara rintihanmu disetiap malam ruhku terbang menujuMu, maafkanlah diriku wahai kekasih, kau yang mencintaiku dengan tetesan cinta dari Sang Maha Pecinta”.

Akhirnya tangisan gadis nasrani itu terdengar oleh hati yang paling lembut. Syaikh San’an pun mendengar tangisan itu secara batiniah, dan Syaikh San’an mengerti bahwa gadis nasrani itu telah meninggalkan sesuatu yang dia cintai. Meninggalkan kedua orangtuanya, kekayaan, kecantikan, kedudukan, pujian dan semua miliknya dan melepaskan dirinya dari keterikatan dunia untuk mencari kekasih hatinya yang telah ia sakiti sedemikian berat.

Syaikh San’an pun memberi tahu murid-muridnya dan menyuruh mereka untuk berhenti menunggu gadis itu. Kemudian merekapun mencarinya dan akhirnya muridnya menemukan gadis malang itu tersungkur ditanah karena kehausan dan kelelahan yang teramat sangat. Tetapi dari mulutnya dan bibirnya yang kering kehausan, senantiasa memanggil-manggil nama Syaikh San’an dengan penuh cinta yang dalam, seperti Majnun memanggil Layla kekasihnya tanpa malu.

Kemudian dihadapan Syaikh San’an gadis itu merebahkan diri bersimpuh dikakinya dan memohon dengan keperihan cinta yang amat dahsyat, “Wahai Syaikhku, wahai kekasihku. aku telah terbakar oleh cintaku ini. Hingga aku mengejarmu berhari-hari dan ingin sekali aku berjumpa denganmu, namun mataku hanya melihat kegelapan. Wahai kekasihku, bantulah aku untuk melihatNya, sebab aku sudah tak kuat lagi bertahan hidup tanpaNya”. Kemudian dua kekasih yang saling mencintai ini dipersatukan Allah dengan dua kalimat syahadat dalam sebuah ikatan tali perkawinan yang suci, sebuah ikatan cinta Ilahiah didunia dan di surga nanti.

Syaikh menggamit lengannya dengan lembut dan kemudian memandang matanya seolah-olah melihat kedalam jiwanya dengan membantu ruh kekasihnya menuju kepada Allah swt melalui dirinya. Gadis itu berseru, “Wahai cinta, aku tak tahan lagi berpisah dariMu selamat tinggal Syaikh Agung sepanjang jaman”. Sambil berkata demikian dan menyebut namaNya yang terindah …Allah…Allah Allah… sang gadis “Sang Cahaya Matahari” melepaskan ruhnya menuju kekasih abadiNya dan meninggal dengan senyuman kepasrahan dan keridhoan akan ketentuanNya.

Syaikh San’an terdiam tak bergerak lama sekali dan airmatanya turun perlahan menyentuh pipi dan bibir kekasihnya yang baru ia temukan kembali, memandang kekasihnya demikian lama, sehingga murid-muridnya nya khawatir kalau-kalau gurunya akan menjadi gila kembali karena kepedihan yang dalam ditinggal oleh gadis yang sangat dicintainya, yang dengannya dia menangis bertahun-tahun memohon cintanya..

wahai cahaya matahari cintaku, ketika ku baru berjumpa
seakan lambaian salammu, seakan salam selamat tinggal
sebelum puasnya mendekat, memandang wajahmu

kau penuhi dia dengan cahaya cintamu
menjadikan neraka nafsuku beku
aghh...kau kosongkan pecinta dengan derita
hanya untuk cahayaMu..
Wahai... Cahaya Maha cahaya


Kemudian Syaikh San’an berkata kepada para muridnya dengan suara serak menahan sedih,“ Wahai para pencari jalan cinta, seandainya kau tak bersatu dengan yang kau cintai didunia ini, maka kepedihanmu akan terasa demikian dalam, tetapi seandainya Allah mempersatukanmu dengan ikatan tali perkawinan, pada akhirnya kematian orang yang kau cintai akan merenggutmu dari kebahagiaan dunia. Yaa karena sesungguhnya sakit cinta dari kepedihan ini akan jauh lebih sakit dan dalam kau rasakan. Allah mengijinkan mempersatukan cintaku dengannya didunia ini, tetapi dalam sekejap ia mengambilnya kembali dari diriku. Karena Dia Sang Maha Pencinta ingin kau secara eksklusif lebih intim dengaNya dengan memenuhi hatimu dengan cintaNya saja. Maka cintailah Dia yang tak pernah mati”.

Kemudian Syaikh melanjutkan nasehatnya, beliau mengangkat kepalanya dan memandang hamparan luas gurun sahara, “Wahai para pencinta, berbahagialah mereka yang menuntaskan perjalanan dan bersatu dengan Sang Kekasih ketika masih didunia yang kotor ini, karena mereka akan terbebas dari belenggu ego, cinta dunia dan hidup dalam kebersatuan dengan Allah”. Diapun merintih dan berkata, “Dan sungguh malang mereka yang nasibnya ditakdirkan untuk membimbing manusia lain kepada tujuannya, sebab mereka harus melepaskan keadaan kesatuan denganNya setiap saat dan terbelenggu demi kehendak dan keridoanNya.”
 
Syaikh Faridudin Attar
Wa min Allah at Tawfiq

Sumber : http://adabdoadancinta.blogspot.com/ 

0 comments:

Post a Comment