Thursday, June 30, 2011

MEMBALAS CINTA SANG KEKASIH




“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan Mengasihi dan Mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Ali ‘Imran [4]: 31)

Manusia, begitulah sebutan bagi kita semua. Makhluk yang sering dielu-elukan oleh sesamanya. Penciptaannya sebagai makhluk biologis yang juga disertai dengan onderdil ruhani dengan seluruh kesempurnaannya, tidak hanya menjadikan manusia sebagai makhluk Tuhan paling “seksi” sebagaimana lagu yang dipopulerkan oleh Mulan Jamila. Lebih dari itu, manusia telah menjadi makhluk Tuhan paling sempurna (فِي اَحْسَنِ تَقْوِيْمِ), firman Allah dalam QS. at-Tîn.

    Cak Kus (begitu Ust. Kuswaidi biasa dipanggil) menjelaskan bahwa kesempurnaan manusia sebagaimana yang digambarkan dalam ayat tersebut bukan hanya karena kesempurnaannya dari sisi biologis, namun kemampuan khususnya untuk wushûl kepada Tuhan. Maksudnya adalah kemampuan untuk sampai (menjalin komunikasi) kepada Allah yang tidak dimiliki oleh setiap makhluk lainnya yang menjadikannya lebih dari yang lain. “Kalua hanya mengandalkan kesempurnaan biologis, bukankah masih banyak hewan yang ternyata ternyata lebih tampan dan indah dibandingkan dengan manusia?” demikian guraunya.

    Kelebihan yang lain adalah bahwa Allah telah memberikan kita akal yang tidak dimiliki oleh setiap makhluk Allah lainnya. Bukan hanya hewan, tapi juga Malaikat yang merupakan makhluk Allah paling bersih dari dosapun ternyata juga tidak dikaruniai akal. Sangat boleh jadi bahwa makhluk lain memiliki otak, tapi bukan akal. Mungkin kita masih ingat dengan cerita malaikat Munkar dan Nakir yang di”akali” oleh Abu Nawas almarhûm, ketika mereka berdua mendapatkan perintah dari Allah untuk memberikan pertanyaan kubur kepada warga negara seribu satu malam itu.

Sesaat sebelum Abu Nawas meninggal memang sudah meminta supaya nanti jasadnya dikafani hanya dengan kain kafan bekas. Maka tatkala satpam alam kubur itu mendatanginya dan melontarkan pertanyaan teka-teki alam kubur, Abu Nawas pun  menjawab, “Tidak kah kalian berdua melihat pakaianku yang sudah kusam ini? Aku adalah penghuni liang ini sejak beberapa waktu yang lalu dan pastinya sudah kalian tanyai sebelum ini.”  Maka kedua satpam itupun hanya bisa diam dan membisu kemudian kembali kepada Majikannya.

    Terlepas dari benar dan salahnya kisah tersebut. Tapi tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk yang sangat inovatif dan kreatif dengan akalnya. Dan inilah yang lagi-lagi menjadi nilai plus bagi manusia. Dengan akalnya manusia bisa berfikir, dengan akalnya manusia bisa membedakan yang baik dan yang buruk, dan dengan akalnya manusia menjadi makhluk yang berakhlak dan berbudi sesuai dengan misi Nabi Muhammad AS, yang diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Sangat disayangkan memang bahwa beberapa saat yang lalu telah terjadi berbagai tindakan anarkis yang dilakukan oleh banyak masyarakat atau bahkan sampai saat ini, baik Indonesia maupun luar Negeri. Mulai dari masalah Ahmadiyah, tuntutan pencopotan Nurdin Khalid dari jabatannya, penggulingan rezim Husni Mubarak di Mesir, pembantaian terhadap golongan kontra Khadafi di Libia, dan masalah-masalah lain yang seharusnya disikapi dengan lebih arif dan bijak.

Akan menjadi lebih baik dan indah pastinya kalau dalam menyikapi berbagai hal tersebut menggunakan cinta dan kasih sayang.

    Tidak salah kemudian kalau manusia terpilih sebagai juara sebagai “khalifatullâh fi al-ardh” dalam kontes yang diselenggarakan oleh Tuhan pada awal penciptaannya.

وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلآئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً
Ia telah berhasil menyingkirkan lawan beratnya; si syetan dengan seluruh kecongkakannya. Dan bahkan manusia telah berhasil menepis keragu-raguan Malaikat yang sempat merasa keberatan dengan kemenangannya tersebut.

    Ya, begitulah manusia. Ia hidup dalam berbagai macam keberuntungan dalam dongeng kehidupan tersebut. Bahkan berbagai macam pernak-pernik kehidupan yang ada di bumi ini, ternyata telah Sutradara ciptakan hanya untuk menjadi accessories kehidupannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam lembaran Mushaf yang Quds itu.

اَلْمَالُ وَ الْبَنُوْنُ زِيْنَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا dan وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ
“Sesungguhnya harta dan anak-anak itu hanyalah (hiasan) kehidupan dunia belaka.” Dan “Berbagai macam binatang ternak itu telah kami jadikan untuk kamu sekalain (manusia).”

Memahami Cinta Tuhan
    Melihat uraian di atas, lantas apakah yang menjadi alasan Tuhan untuk menganugerahkan berbagai macam hadiah itu? Apakah itu spekulasi Tuhan dalam menentukan masa depan dunia? Ataukah Tuhan hanya asal-asalan saja dan iseng-iseng untuk mengisi waktu luang menunggu hari pembalasan bagi hamba-hamba-Nya? Oh, tidak mungkin, bahkan Ebiet-pun bernyanyi, “Tuhan pasti telah memperhitungkan.” Satu jawaban yang menurut penulis benar adalah hal itu dikarenakan CINTA ALLAH kepada hamba-hamba-Nya.

    Itulah yang disebut dengan cinta tanpa pamrih. Tuhan selalu tau apa yang kita butuhkan, Tuhan selalu memberikan solusi untuk setiap masalah yang kita hadapi, Tuhan selalu menjadi tempat bagi kita untuk mengadu, dan Tuhan selalu memperhatikan kita setiap waktu. Tapi Tuhan tidak pernah mengharapkan balasan walau sekalipun atas apa yang Ia berikan. Hanya satu yang Tuhan perintahkan kepada kita semua, “Jangan Pernah Duakan Aku!”
 
    Melihat begitu baiknya Tuhan kepada kita semua, masihkah kita akan mengatakan bahwa itu bukanlah cinta. Banyak sekali pemberian-Nya yang kita dapatkan sebelum kita memintanya. Belum kita meninggal, surga sudah disiapkan oleh Sang Rahim untuk kita. Tapi sayang, terkadang sifat “kerdil” selalu menghinggapi dasar lubuk hati makhluk bernama manusia itu. Dan ia pun tidak sadar akan hal itu. Tidak usah jauh-jauh. Di indonesia saja misalnya. Berbagai macam permasalahan kehidupan telah kita saksikan atau bahkan rasakan. Mulai bencana alam seperti Merapi dan lahar dinginnya, wabah penyakit yang telah menyatu dengan kemiskinan, keterbelakangan pendidikan dan masalah-masalah lain yang terus mengikuti alirannya. 

    Banyak pihak yang kemudian tidak dapat memahaminya sebagai bentuk kepedulian Allah kepada kita manusia. Mereka tidak sadar bahwa Allah masih mau mengingatkan kita akan seluruh kesalahan dan kekhilafan. Seperti apa yang terjadi satu minggu yang lalu, ketika saudara-saudara kita yang berada di Jepang, mendapatkan ujian cinta dari Allah berupa gempa bumi berkekuatan 8,9 SR yang menghasilkan tsunami. Hal itu adalah cara Allah untuk memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya. “Wijhatun min at-ta’âruf,” kata Ibnu ‘Atha’illah dalam kitabnya, al-Hikam. Kita yakini saja bahwa semua itu adalah upaya Allah untuk mendewasakan kita dan membuat kita lebih tegar.

    Kalau memang Allah masih mau memberikan musibah kepada kita, bukankah itu bukti bahwa Allah masih sayang kepada kita semua? Karena jikalau Allah tidak lagi peduli kepada kita maka
Allah akan membiarkan kita terpuruk dalam lembah kenistaan dan memberikan adzab seberat-beratnya di akhirat kelak. Fahamilah bahwa itu semua adalah upaya Allah untuk melihat apakah kita bersyukur, atau justru malah kufur.

Membalas Cinta Tuhan
    Dengan begitu besarnya cinta Tuhan kepada kita semua, maka sudah sepatutnya kalau kita mengarahkan panah cinta ini hanya kepada-Nya. Bukan untuk cinta “ecek-ecek”, tapi untuk sebuah cinta sejati. Cinta yang tidak akan pernah lekang oleh tempat, cinta yang tidak akan pernah pudar oleh waktu, dan cinta yang akan terus bersemi hingga kita tidak mampu lagi untuk mencintai.

    Lalu bagaimanakah cara untuk membalas cinta Allah tersebut? Sudah barang tentu kita mengetahui, bahwa cara untuk membuat pihak lain senang adalah dengan memberikan apa yang ia inginkan. Dan oleh karena Allah hanya ingin kita menyembah-Nya dan tidak menduakan-Nya, maka marilah kita selalu beribadah kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan. Kita niatkan segala aktivitas kita hanya untuk beribadah dan mendapatkan keridhaan-Nya dan jangan pernah sekalipun kita menjadi orang yang musyrik dengan menjadikan sekutu bagi-Nya.

Dengan kata lain, kita berusaha untuk menjadi orang yang bertakwa. Imtitsâlu awâmirillâh, wa ijtinâbu nawâhîhi. Melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Sebagaimana yang diserukan Rasulullah yang di-nash-kan dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imrân ayat 31 di atas, “فَاتَّبِعُوْانِي”, kalau memang kamu mencintai Allah maka ikutilah ajaranku. Mudah-mudahan dengan demikian kita akan bisa menjadi kekasih Allah SWT.

    Kita mungkin masih ingat atau setidaknya pernah mendengar kata bijak ini, “Man katsura hubbuhu katsura dzikruhu.” Barang siapa yang besar cintanya, maka akan sering menyebut-nyebut yang ia cintai. Dari itulah maka mari kita tujukkan cinta kita kepada Tuhan, yaitu dengan selalu ingat kepada-Nya di setiap waktu. Kalau memang kita cinta kepada Allah maka hendaknya kita selalu berdzikir, atau minimal ingat kepada-Nya.

Ikhtitam
    Seorang sufi perempuan berkebangsaan Persia yang bernama Rabi’ah al-Adawiyyah pernah mengungkapkan rasa cintanya kepada sang kekasih yaitu Tuhan. Ia berkata, “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, yaitu cinta karena hasratku dan cinta karena memang Engkau patut untuk di cintai. Adapun cinta karena hasratku terefleksikan dalam kesibukanku untuk selalu mengingat-Mu, sedangkan cinta karena kepatutan-Mu untuk dicintai tercermin dari terbukanya tabir-Mu sehingga aku dapat melihat-Mu.”
 
    Di penghujung tulisan ini, dengan melihat begitu bersarnya cinta Tuhan kepada kita semua. Penulis mengajak semua pihak untuk mulai menghayati cinta tersebut dan kemudian membalas cinta-Nya seperti yang dilakukan oleh Rabi’ah. Berawal dari seluruh kesalahan yang telah kita buat terhadap Sang Maha, berawal dari kekerdilan kita dalam mengonsep-Nya, kita memulai untuk menebarkan benih-benih cinta. Bukan hanya karena hasrat kita untuk mencintai, tetapi karena memang Allah lah yang paling pantas untuk kita cintai. Mudah-mudahan kita semua bisa menjadi kekasih Allah SWT. Âmîn. Akhirnya, ya Allah, maafkanlah kami umat manusia ini. Begitu besarnya cinta dan kasihmu kepada kami, sehingga kami sering tidak mampu memahaminya sebagai cinta. Wallâhu a’lamu bi ash-shawâb.

0 comments:

Post a Comment